Berita  

Donasi Rp1.000 Sehari: DPRD Jabar Saat Solidaritas Mulai Diatur Lewat Surat Edaran

BANDUNG – Harianpedia.com Senin, 6 Oktober 2025 Di sebuah ruangan berpendingin di Gedung DPRD Jawa Barat, percakapan sore itu berubah jadi sindiran halus tentang “solidaritas yang dipaksa”. Dari luar, gagasan Dedi Mulyadi tentang donasi Rp1.000 per hari terdengar indah — kecil, ringan, tapi katanya bisa menggerakkan semangat kebersamaan. Namun di dalam ruang rapat, ide itu terdengar seperti beban baru yang dibungkus kata gotong royong.

Zaini Shofari, Ketua Fraksi PPP sekaligus anggota Komisi V DPRD Jabar, duduk dengan tenang tapi suaranya menampar lembut.
“Gerakan kesetiakawanan sosial itu seharusnya tumbuh dari hati masyarakat. Kalau melalui surat edaran atau imbauan formal, kesannya jadi paksaan. Ini bukan lagi gerakan spontan, tapi kewajiban terselubung,” ujarnya.

Kalimat itu seperti menyiramkan air dingin ke atas api kampanye moral. Rp1.000 per hari, katanya, terdengar sederhana, tapi dalam praktiknya bisa berubah jadi pungutan terselubung. Apalagi jika menyasar anak sekolah yang jelas-jelas dilindungi aturan dari segala bentuk pungutan.

“Kalau menyasar siswa, itu melanggar aturan sekolah. Sekolah tidak boleh melakukan pungutan dalam bentuk apa pun,” lanjutnya.

Dari sudut pandang Zaini, gagasan yang diklaim berbasis PP Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial itu justru bisa bertabrakan dengan banyak hal. Ia menyebut, ketika pemerintah mulai meminta rakyat berpartisipasi dengan uang harian, maka ada tanda bahwa manajemen keuangan daerah sedang tidak baik-baik saja.

“Ketika pemerintah daerah mendorong masyarakat untuk urunan harian, itu bisa diartikan pemerintah tidak mampu mengelola keuangan secara efektif. Jangan sampai tanggung jawab kesejahteraan publik dialihkan ke rakyat,” tegasnya.

Di luar gedung, kehidupan berjalan seperti biasa. Orang-orang tetap saling bantu tanpa surat edaran. Warga desa masih gotong royong memperbaiki jalan, tetangga masih mengantarkan nasi saat ada yang sakit, dan ibu-ibu masih berbagi beras tanpa tanda tangan resmi.

“Solidaritas sosial sudah hidup di masyarakat. Mereka membantu sesama tanpa perintah. Jangan sampai semangat gotong royong yang alami justru kehilangan maknanya karena diformalkan lewat kebijakan,” kata Zaini di akhir percakapan.

Ironinya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan gotong royong, kini solidaritas mulai dihitung dengan angka dan jadwal. Seribu rupiah per hari — mungkin kecil nilainya, tapi besar maknanya. Tergantung siapa yang mengutip dan siapa yang mengatur.

Di meja redaksi, berita ini bukan sekadar tentang uang receh. Ini tentang bagaimana pemerintah mencoba mengatur rasa. Dan kalau rasa sudah diatur, maka gotong royong bukan lagi gerakan, melainkan perintah.

Jihad

Exit mobile version