Berita  

Presiden Prabowo Mengulang Sejarah Perjuangan Diplomasi Prof. Sumitro

Jakarta, 20 September 2025 – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dijadwalkan akan menyampaikan pidato dalam Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada Selasa, 23 September mendatang. Kehadiran Presiden Prabowo di forum global ini menjadi momen bersejarah yang mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, menyebut kehadiran Presiden Prabowo di panggung PBB sebagai kelanjutan dari tradisi keluarga pejuang diplomasi.
“Kami, rakyat Indonesia, berharap Presiden Prabowo dapat melanjutkan semangat Prof. Sumitro dalam memperjuangkan upaya global untuk memperkuat multilateralisme,” ujar Dino.

Prof. Sumitro Djojohadikusumo pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948–1949, sebuah masa krusial dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu kontribusi diplomatik paling monumental yang ditorehkannya adalah pengiriman memorandum dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert A. Lovett.

Memorandum tersebut, yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman serius terhadap upaya menjaga ketertiban dunia. Agresi itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Renville dan proses perundingan lainnya antara Indonesia dan Belanda, sekaligus mencoreng legitimasi PBB sebagai lembaga internasional.

Tak berhenti di situ, Prof. Sumitro juga aktif membangun dukungan internasional, terutama dari negara-negara Asia. Pada Januari 1949, dalam sebuah pertemuan di India, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menekan Belanda agar menghentikan agresinya dan membebaskan para pemimpin Republik Indonesia.

Puncak dari upaya diplomatik ini adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dino menilai bahwa pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB akan membawa angin segar di tengah merosotnya semangat multilateralisme global.
“Multilateralisme kini sedang menghadapi tantangan berat di berbagai belahan dunia,” ujar mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat tersebut.

Senada dengan Dino, Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, Hamdan Hamedan, juga menyoroti makna strategis pidato Presiden Prabowo dalam forum PBB tersebut. Presiden dijadwalkan berbicara di urutan ketiga, setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat.

“Pada saat itu, ruang sidang akan penuh, perhatian dunia sedang tertuju, dan pesan yang disampaikan Presiden Indonesia akan memiliki pengaruh besar dalam membentuk arah serta nada perdebatan umum PBB,” jelas Hamdan dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (19/9).

Setelah sepuluh tahun absen, kehadiran langsung Presiden Indonesia kembali di panggung utama dunia menjadi momen penting yang menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa besar yang aktif dan berpengaruh dalam diplomasi internasional.

“Ini adalah penampilan perdana Presiden Indonesia di Sidang Umum PBB setelah lebih dari satu dekade. Momentum ini menegaskan komitmen Indonesia terhadap penguatan multilateralisme serta peran strategis dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil dan damai,” pungkas Hamdan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *