Garut Harianpedia news— Pesta rakyat yang digelar dalam rangka merayakan pernikahan Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, dengan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat, berubah menjadi tragedi memilukan yang menewaskan empat orang. Ironisnya, peristiwa ini terjadi bukan karena bencana alam atau serangan, melainkan akibat kelalaian manusia dalam mengelola kerumunan. Sebuah kegagalan yang seharusnya dapat dicegah sejak awal. Acara yang digelar pada Jumat siang (18/7/2025) di kawasan Pendopo Garut dan Alun-Alun Babancong itu menelan korban jiwa setelah terjadi desak-desakan hebat di tengah lautan pengunjung.
Acara yang disulap menjadi perhelatan akbar ini dihadiri ribuan warga yang berharap ikut berbagi kebahagiaan bersama pasangan pejabat publik. Dengan konsep “pesta rakyat”, panitia mengundang masyarakat luas untuk menikmati makanan gratis . Tapi yang luput dari perencanaan adalah: siapa yang akan mengatur aliran manusia sebanyak itu? Di mana mitigasi risikonya? Di mana protokol keamanannya?
Kematian empat warga akibat desak-desakan bukanlah insiden biasa—ia adalah tanda kegagalan manajemen massa dan pengabaian tanggung jawab publik. Ketika pemimpin daerah menggelar acara berskala besar, maka tanggung jawab bukan hanya pada panitia teknis, tapi juga pada otoritas penyelenggara yang punya wewenang—dan kewajiban—untuk memastikan keselamatan publik.
Apakah euforia politik dan pencitraan elit menjadi lebih penting dari keselamatan rakyat? Apakah kita harus menunggu korban jiwa untuk menyadari pentingnya perencanaan matang dalam setiap acara terbuka? Bukankah sudah cukup banyak contoh tragedi serupa yang bisa dijadikan pelajaran?
Pemerintah daerah dan panitia pelaksana mesti introspeksi. Rasa duka saja tidak cukup—harus ada pertanggungjawaban. Masyarakat berhak mendapat kejelasan, bukan sekadar permintaan maaf formal. Transparansi mengenai siapa yang lalai, bagaimana SOP keamanan disusun (jika ada), dan siapa yang akan menanggung beban korban dan keluarganya—semua itu wajib dijelaskan kepada publik.
Pesta rakyat sejatinya adalah simbol kebersamaan antara pemimpin dan warga. Tapi ketika simbol itu berubah menjadi ajang pencitraan tanpa perhitungan matang, maka yang muncul adalah tragedi dan kehilangan. Empat nyawa yang melayang bukan angka statistik—mereka adalah anak, suami, istri, atau orang tua yang tak akan kembali.
Jangan biarkan slogan kebersamaan menjadi tabir bagi kelalaian. Jika rakyat diundang, maka keselamatannya harus dijamin. Jika rakyat diajak bersuka cita, maka mereka tak boleh pulang dalam peti jenazah.
kritik Jurnal