Islam Menolak Kapitalisme: Tafsir Al-Qur’an dan Gagasan H.O.S. Tjokroaminoto”

Di zaman ini, perjuangan ideologi telah kehilangan arah sucinya. Banyak yang berbicara tentang keadilan, tapi di balik retorika itu bersembunyi kepentingan, kekuasaan, dan uang. Ideologi tidak lagi menjadi jalan perjuangan, melainkan komoditas di pasar politik dan agama.
Semua dijual — bahkan nilai-nilai yang dulu dianggap suci.

Kita hidup di masa ketika idealisme dianggap utopia dan kejujuran dianggap kegilaan. Orang mengaku berjuang demi rakyat, tapi pikirannya bekerja seperti pedagang. Semua hal kini diukur dengan angka dan keuntungan. Bahkan dunia pendidikan yang seharusnya membentuk manusia berakhlak, kini menjadi industri. Murid bukan lagi subjek yang tumbuh, melainkan produk yang dijual kepada pasar kerja.
Inilah wajah kapitalisme pendidikan — sistem yang menukar nilai kemanusiaan dengan nilai ekonomi.

Dan di sinilah, pemikiran H.O.S. Tjokroaminoto menjadi nyala lampu di tengah gelapnya zaman.
Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, Tjokro menegaskan bahwa Islam sejatinya adalah kekuatan sosial yang menentang ketimpangan ekonomi dan penindasan. Ia menulis bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial — menolak monopoli, riba, eksploitasi, dan kerakusan.
Bagi Tjokro, kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi, tapi penyakit moral yang mengubah manusia menjadi mesin laba.

Al-Qur’an Sebagai Dasar Penolakan terhadap Kapitalisme

Islam menolak kapitalisme bukan karena benci pada kemajuan, tapi karena kapitalisme memutuskan nilai dari moralitas. Al-Qur’an berulang kali memperingatkan tentang bahaya keserakahan, penimbunan harta, dan ketidakadilan dalam distribusi ekonomi.

Larangan menimbun dan menindas:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34)

Ayat ini bukan hanya tentang harta, tetapi tentang sistem yang membiarkan segelintir orang menimbun kekayaan sementara yang lain kelaparan — inti dari kapitalisme modern.

Keadilan dalam ekonomi:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr: 7)

Inilah dasar ekonomi Islam: pemerataan. Kekayaan harus mengalir, bukan mengendap. Sistem yang membiarkan ketimpangan ekonomi adalah sistem yang bertentangan dengan nilai Qur’ani.

Larangan riba dan eksploitasi:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)

Riba adalah jantung kapitalisme. Ia melahirkan ketimpangan, memperkaya pemodal, dan menindas yang lemah. Maka ketika Islam menolak riba, sebenarnya ia sedang menolak akar sistem kapitalistik itu sendiri.

Keseimbangan dan tanggung jawab sosial:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia; berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”
(QS. Al-Qashash: 77)

Islam tidak menolak dunia, tapi menolak kerakusan yang merusaknya. Kekayaan boleh dicari, tapi bukan untuk menguasai; melainkan untuk menegakkan kebaikan.

Islam Melawan Kapitalisme: Dari Tjokroaminoto ke Generasi Hari Ini

Bagi Tjokroaminoto, ajaran Islam bukanlah dogma mati, melainkan ideologi pembebasan. Ia menolak sistem yang menjadikan manusia alat produksi dan menuntut keadilan sosial sebagai bagian dari iman. Islam yang diperjuangkannya bukan Islam simbolik, tapi Islam yang menghidupi rakyat miskin, memerdekakan pendidikan, dan menegakkan martabat manusia.

Namun realitas hari ini menunjukkan hal sebaliknya. Kapitalisme menembus masjid, sekolah, dan layar media. Nilai-nilai spiritual dijadikan konten viral; pendidikan dijadikan proyek; bahkan dakwah dijadikan merek dagang. Segalanya menjadi industri — termasuk iman.

Kita menyaksikan kemurnian ideologi runtuh satu per satu, tergantikan oleh transaksi. Tapi seperti api kecil di tengah badai, masih ada jiwa-jiwa yang menolak padam — mereka yang tetap percaya bahwa perjuangan tidak harus murni, tapi harus jujur. Karena di tengah sistem yang menindas, kejujuran adalah bentuk jihad terakhir.

Kesadaran Sebagai Benteng Terakhir

Islam menolak kapitalisme bukan hanya karena ekonomi yang timpang, tapi karena kapitalisme merusak jiwa manusia. Ia mengajarkan manusia untuk menukar nilai hidup dengan uang, bukan dengan amal. Padahal Al-Qur’an telah mengingatkan:

“Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.”
(QS. Al-‘Asr: 2–3)

Ayat ini adalah antitesis total terhadap kapitalisme. Karena dalam kapitalisme, yang menang adalah yang paling kuat. Sedangkan dalam Islam, yang mulia adalah yang paling beriman.

Dan mungkin di zaman yang serba materialistik ini, bentuk tertinggi dari perlawanan adalah tetap hidup dengan kesadaran — menolak menjual nilai, menolak tunduk pada sistem, menolak melupakan manusia.

Islam melawan kapitalisme bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran bahwa manusia tidak diciptakan untuk dijual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *