Di negeri ini, pendidikan seolah menjadi mercusuar harapan. Namun di balik sinar yang terang, ada bayang-bayang panjang kapitalisme yang menyusup ke setiap ruang kelas.
Kita hidup di zaman ketika nilai manusia diukur dari angka, bukan dari kesadaran atau karakter. Anak-anak bukan lagi pelajar yang tumbuh, tapi komoditas statistik untuk laporan pemerintah, grafik prestasi, dan kebanggaan institusi. Sekolah berlomba mencetak “angka kelulusan sempurna”, bukan manusia yang merdeka berpikir.
- Dana Besar, Dampak Kecil: Ketika Anggaran Jadi Ladang Dagang
Pemerintah setiap tahun menggelontorkan 20% APBN untuk pendidikan — setara lebih dari Rp 600 triliun. Namun hasilnya belum terasa pada generasi penerus bangsa.
Data dari KPK (2024) menunjukkan 12% dana BOS digunakan tidak sesuai peruntukan. Artinya, sebagian anggaran yang seharusnya menjadi alat pemerataan justru bocor menjadi proyek kepentingan pribadi, laporan fiktif, atau pengadaan tak relevan.
Murid jadi angka, guru jadi operator, dan dana pendidikan berubah menjadi modal politik lokal.
Ironisnya, Rp 104,5 triliun dari total anggaran pendidikan justru dinikmati oleh hanya 13 ribu peserta pendidikan kedinasan, sedangkan 62 juta siswa umum harus berbagi Rp 91,2 triliun.
Ketimpangan ini menandakan satu hal: pendidikan telah disusun berdasarkan nilai pasar dan status sosial, bukan pemerataan kesejahteraan.
- Pendidikan sebagai Mesin Ekonomi
Laporan studi ekonomi nasional menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan 2014–2023 tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Investasi besar dalam pendidikan tidak otomatis melahirkan kualitas manusia — karena sistemnya bukan mendidik untuk berpikir, tapi melatih untuk bekerja.
Sekolah dan universitas kini menjadi industri sertifikat. Setiap gelar, akreditasi, dan pelatihan dijual layaknya produk, sementara semangat belajar diganti dengan kebutuhan untuk menjual diri di pasar kerja.
Kapitalisme tidak lagi hanya menjual barang — ia menjual kesadaran, dan kesadaran itu kini bernama “pendidikan”.
- Murid Jadi Angka, Guru Jadi Mesin
Kebijakan yang menuntut guru melaporkan ribuan data administrasi menciptakan “guru sebagai operator sistem”, bukan pendidik.
Waktu yang seharusnya untuk membimbing siswa habis untuk mengisi formulir dan pelaporan digital. Semua serba angka, semua serba target.
Dan di tengah tumpukan data itu, jiwa anak bangsa hilang di balik laporan Excel.
- Bantuan yang Tak Menyentuh Akar
Program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) memang membantu menekan angka putus sekolah, tapi hanya sebesar 0,34% di tingkat SD.
Efeknya kecil karena masalah utama bukan sekadar uang sekolah — tetapi sistem yang menjadikan pendidikan alat kompetisi ekonomi, bukan ruang kesetaraan sosial.
- Akhirnya, Kita Melahirkan Generasi Pasar
Maka wajar jika sekarang banyak anak muda yang tidak belajar untuk memahami dunia, tapi untuk menjual diri kepada dunia.
Kampus menjadi showroom, ijazah menjadi iklan, dan nilai menjadi harga.
Inilah bentuk kapitalisme pendidikan:
ketika belajar tidak lagi menjadi jalan menuju kesadaran,
tetapi tiket menuju pekerjaan dalam sistem yang terus memakan manusia.
- Seruan: Kembalikan Pendidikan ke Ruh Kemanusiaan
Pendidikan seharusnya melahirkan manusia bebas, bukan robot sistem.
Dana yang besar bukan untuk laporan sukses, tapi untuk menumbuhkan akal sehat, nurani, dan keberanian berpikir kritis.
Kita harus menolak kapitalisme yang menjadikan siswa sebagai produk, guru sebagai buruh angka, dan sekolah sebagai pasar.
Karena sejatinya — pendidikan bukan investasi ekonomi, tapi revolusi kesadaran.