Moch Cahya Agung Ketua PC SEPMI Garut Tolak RUU KUHAP Lewat Puisi

Jum’at, 21 November 2025 tepat di depan gedung DPRD Kabupaten Garut, Moch Cahya Agung berbarengan dengan koalisi Mahasiswa Se-Kabupaten Garut membacakan karya tulis “Puisi” sebagai bentuk penolakan terhadap batasan berekspresi. Pusi berjudul “Kuasa Digital” yang menggambarkan bentuk keras penolakan terhadap revisi RUU KUHAP yang dinilai berpotensi membatasi kebebasan berpendapat.

”puisi ini sebagai bukti bahwa pemuda/i di Kabupaten Garut memiliki potensi dan kapasitas untuk membangun negri melalui karya-karya untuk mengemukaan ekspresi” Ujarnya.

Beberapa pasal dianggap terlalu multitafsir dan dapat dengan mudah digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi warga negara. Contohnya wacana pembatasan kritik terhadap pemerintah, pembatasan demonstrasi tanpa izin, serta ketentuan mengenai “penghinaan” dan “penyiaran informasi yang dapat menimbulkan keonaran” yang rumusannya masih terbuka terhadap berbagai interpretasi. Kekhawatiran utama bukan hanya mengenai isi pasal itu sendiri, tetapi juga kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak tertentu untuk membungkam kritik, menghambat suara publik, dan menekan dinamika demokrasi. Ketika hukum menjadi alat pembatas, bukan alat pelindung, maka ruang diskusi publik menjadi sempit, dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi menjadi terancam.

Di tengah situasi tersebut, masyarakat sipil termasuk mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan lembaga bantuan hokum, menyuarakan pentingnya revisi dan peninjauan kembali pasal-pasal yang berpotensi menggerus kebebasan berekspresi. Karena pada negara demokrasi, kritik bukan ancaman, melainkan bentuk partisipasi dan kontrol sosial. Kritik adalah mekanisme untuk memastikan pemerintah tetap berada pada jalur konstitusi dan bekerja untuk kepentingan publik. Pembatasan kritik berarti menutup pintu akuntabilitas.

Pembaruan KUHP tetap diperlukan, namun pembaruan tersebut harus sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Peraturan pidana seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan, bukan melindungi penguasa dari kritik. Oleh karena itu, pembahasan RUU KUHP idealnya mengedepankan transparansi, partisipasi publik, dan keterbukaan terhadap masukan dari berbagai elemen masyarakat agar hukum yang lahir bukan hanya legal, tetapi juga legitim, adil, dan bertanggung jawab. Indonesia membutuhkan KUHP baru, namun bukan yang membungkam suara rakyat, melainkan yang menjamin hukum sebagai fondasi keadilan, kebebasan, dan martabat manusia.

“ saudara-saudari sekalian, kita jangan takut dan resah karena basah diguyur hujan, tetapi kita harus takut dan resah ketika apa yang menjadi kebijakan mereka disahkan tanpa sepengetahuan kita!” ujarnya di dengan lantang di depan kantor DPRD Kabupaten Garut. Berharap apa  yang telah disahkan kembali direvisi dan ditinjau ulang agar lebih mengedepankan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.

Berikut karya tulis puisi yang ditulis:

Gelap hari semakin gelap

‎Tak ada terang selamanya hitam

‎Ibu pertiwi yang goyah kekuasaan

‎Demokrasi hanya jadi hiasan

‎Asa insan tak berdaya

‎Menelan pahit kebijakan penguasa

‎Ranah privasi harus jadi informasi publik

‎Informasi publik harus jadi privasi

‎Katanya semua ini usulan masyarakat

‎Masyarakat yang mana?

‎Amerika? Australia? Atau rakyat Indonesia

‎Tak ada sejarahnya singa yang lapar memakan organ tubuhnya sendiri

‎Semuanya hanya manipulasi

‎Berbarengan dengan halusinasi

‎Jika kalbu masih ada?

‎Mengapa pertimbanganya tidak merata

‎Akhhhh… Ini semua untuk melindungi kalian

‎Melindungi kami atau melindungi martabat penguasa pakk

Bagaikan semut yang di injak gajah

‎Semua hak kalian rampas

‎Digitalisasi menjadi senjata praktis

‎Untuk melindungi kemewahan dan kemegahan pribadi

‎Manipulasi bertaburan secara instan

‎Yang jelas tidak di tindak

‎Malah mencari ketidakjelasan dengan cara meretas dan merampas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *