Seorang nelayan asal Desa Krojo, Tangerang, bernama Kholid, menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah videonya dalam sebuah perdebatan terkait pemasangan pagar laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang viral. Di platform seperti Instagram hingga TikTok, Kholid dikenal karena wawasan luasnya, meskipun berasal dari profesi sederhana sebagai nelayan.
Kholid secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap pembangunan pagar laut yang dianggap merugikan para nelayan, termasuk dirinya sendiri. Dalam sebuah wawancara di Indonesian Lawyer Club (ILC) pada Minggu (19/1/2025), Kholid, yang saat itu mengenakan topi hitam dan kemeja biru dipadu kaos putih, mengungkapkan dampak buruk yang dialaminya akibat proyek tersebut.
“Otomatis banyak kerugian dengan saya,” ujar Kholid, menggambarkan bagaimana pendapatannya sebagai nelayan turun drastis karena pagar laut menghalangi akses untuk mencari ikan.
Lebih jauh, Kholid menceritakan pengalamannya menerima telepon dari seseorang yang memintanya berhenti mengurusi masalah ini. Ucapan bernada ancaman itu justru mengingatkan Kholid pada sebuah buku berjudul Logika Penjajah karya Yai Midi. Dalam buku tersebut, penjajahan diidentifikasi sebagai pola pikir parsial yang melarang seseorang membantu tetangganya yang sedang mengalami kesulitan.
“Penjajah itu punya pandangan parsial. Kita tidak boleh menolong tetangga yang sedang dijajah. Begitu juga di laut. Ketika Tangerang menangis, orang Serang juga ikut menangis. Saya berbicara untuk dampak yang berbahaya bagi nelayan di laut akibat pemagaran ini,” tegasnya.
Dalam argumennya, Kholid juga mengibaratkan pemasangan pagar laut sebagai bentuk perampasan kedaulatan oleh korporasi. “Saya melawan. Kehidupan saya sebagai nelayan dikelola oleh korporasi. Sampai kiamat anak cucu saya miskin, karena saya hanya dijadikan objek. Dia yang mengelola,” ungkapnya penuh emosi.
Kholid juga menyoroti bagaimana korporasi cenderung hanya memikirkan keuntungan tanpa mempertimbangkan keadilan bagi rakyat kecil. “Kami tidak merasakan itu,” tambahnya.